
Corona dan Budaya Share (Berbagi) Masyarakat Indonesia
oleh : Muhammad Ridwan
Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIIG Cilacap
Sejak awal bulan maret 2020 banyak pesan yang masuk ke group-group media sosial. Kontennya adalah berisi tentang informasi seputar virus Corona yang sudah mulai masuk ke Indonesia, cara penanganan virus Corona bahkan sampai konten Corona dalam sudut berbagai sudut pandang.
“ TUHAN MENGIZINKAN CORONA DEMI MEMPERBAIKI BUMI !!!
Dibalik heboh nya Corona Virus menjemput nyawa manusia, ternyata ada hal LUAR BIASA setelahnya. Tanpa kita sadari bahwa Corona, ternyata mampu membuat BUMI MEREFRESH DIRI ! Selama Covid 19 merajalela di seantero dunia, maka PANAS BUMI yang diakibatkan oleh mesin mesin industri dan produksi yang beroperasi di daratan China, Eropa, Amerika, Australia, BERHENTI TOTAL ! Sehingga apa yang disebutkan sebagai pemanasan global, jauh sekali berkurang ! Kemarin ada artikel yang memberikan penjelasan,bahwa lapisan ozone kembali menebal dan pulih dengan sendirinya dan es di kutub kembali terbentuk.
SUNGGUH LUAR BIASA !!!” (Kutipan)
Selain contoh diatas, masih banyak lagi konten yang dibagikan. Ada yang serius, ada yang lelucon atau bahkan ada yang membuat meme. Konten-konten tersebut merupakan bagian dari budaya baru sejak merebaknya media sosial ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Budaya share (berbagi) yang semakin populer, tumbuh seiring penggunaan media sosial yang kian meningkat digunakan masyarakat.
Detik.com menyajikan hasil riset We Are Social yang berisi tentang perkembangan terakhir kepemilikan digital dan media sosial di Indonesia diawal tahun 2020. Ada 175,2 Juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet ditahun 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia, penggunaan internet mengalami kenaikan, angkanya 17% atau meningkat sekitar 25 juta pengguna dibandingkan tahun 2019. Artinya, sudah 64% penduduk Indonesia menggunakan internet. Ini merupakan sebuah lompatan besar dalam kurun kurang dari 10 tahun terakhir. Hasil penelitian lainnya menunjukkan fakta dimana sekitar 160 juta penduduk Indonesia benar-benar aktif diwilayah media sosial. Ada peningkatan sekitar 10 juta orang jika dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 2019. Untuk media sosial sendiri yang paling banyak digunakan adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, Sina Weibo.
Dalam banyak hal, share (berbagi) informasi memang memiliki banyak manfaat, namun banyak pula sisi negatifnya. Hal yang paling fatal adalah saat terjadi salah faham antara pengirim pesan dan penerima pesan, karena dikondisi tertentu menyampaikan pesan tidak hanya cukup diwakilkan kata-kata. Dikondisi tertentu seseorang akan mudah salah paham jika hanya mendengar pesan dari kata-kata saja. Misalnya seorang mahasiswa yang sedang dalam perasaan jengkel karena ada suatu permasalahan menghubungi dosen, lalu si dosen membalasnya hanya dengan jawaban IYA atau TIDAK, maka ia dengan mudah akan mengartikan bahwa dosen tersebut orangnya cuek. Padahal dosen tersebut membalas IYA atau TIDAK karena memang memiliki kesibukan, sehingga tidak bisa membalas pesan yang panjang. Oleh karena itu idealnya seseorang yang sedang bertukar informasi, hendaknya masing-masing bisa saling melihat mimik dan ekspresi wajah, bahasa tubuh, gerak-gerik mata ataupun ekspresi tubuh lainnya. Ekspresi tubuh tersebut sangat penting diketahui antara pengirim pesan dan penerima pesan, agar sama-sama melihat jiwa dari interaksi yang dilakukan. Apakah interaksi tersebut serius atau hanya guyonan semata. Membagikan informasi sejatinya memang tidak hanya membagikan kata-kata saja melainkan didalamnya menentukan relasi seseorang terhadap orang lainnya, jadi harus memperhitungkan pengaruh dan akibat (effect) yang didapatkan. Harold Lasswell seorang tokoh komunikasi sudah mengingatkan bahwa komunikasi tidak hanya sebatas pesan saja, namun juga memiliki pengaruh atau akibat (effect). Laswell memberikan definisi bahwa komunikasi merupakan “Who Says What in Which Channel to Whom and With What Effect” (Komunikatro, Pesan, Media atau sarana, komunikan dan pengaruh atau akibat). Contoh misalnya orang yang membagikan konten Corona dalam sudut pandang agama maka akibatnya akan banyak orang yang menganggap bahwa Corona merupakan adzab dari tuhan. Atau contoh lain, seseorang yang membagikan konten Corona dalam bingkai kewaspadaan bahkan kecemasan, maka akibatnya akan banyak orang yang mengalami kekhawatiran untuk melakukan aktifitasnya. Disini dapat dipahami bahwa proses share (berbagi) informasi harus disertai pula kemampuan memperhitungkan pengaruh dan akibat (effect) yang dihasilkan.
Sisi negatif lainnya dari budaya share (berbagi) dimedia sosial adalah ketidakmampuan masyarakat luas menyaring informasi yang diterima apakah informasi benar atau informasi bohong (Hoaxs). Belum lagi masalah penyaringan informasi tentang wacana yang dibangun dalam konten tersebut. Padahal dalam kajian analisis wacana, sebuah konten tidak mungkin berdiri begitu saja, ada ideologi atau kepentingan tertentu didalamnya yang sengaja dibuat seseorang atau sekelompok orang guna melanggengkan tujuannya. Fairlough dan Wodak, sudah mengingatkan bahwa dalam kelompok sosial terjadi pertarungan wacana dimana mereka menggunakan bahasa untuk menyebarkan ideologinya masing-masing. Media dan bahasa dijadikan kelompok dominan sebagai alat untuk mempresentasikan realitas, sehingga realitas yang sesungguhnya menjadi terdistorsi. Pada titik ini, media sosial bukan hanya menjadi titik perhatian dari dunia komunikasi tetapi juga politik, sosial dan budaya. Seperti misalnya kolompok aktifis politik yang memandang bahwa media sosial bisa dijadikan sebagai instrumen penyebaran ideologi partainya sehingga nilai kelompok ideologi partainya dimapankan dan mengesampingkan ideologi kelompok partai lainnya. Atau misalnya aktifis organisasi keagamaan tertentu yang memiliki tujuan untuk menyebarkan ideologinya, mereka memanfaatkan media sosial dengan membuat berbagai narasi yang menarik dengan mengambil data dan fakta yang ada sehingga masyarakat menjadi tertarik untuk mendukungnya. Sama halnya dengan konten-konten yang membahas tentang Corona, informasi tersebut mengandung ideologi dan kepentingan tertentu. Idealnya memang masyarakat mempunyai kemampuan untuk melihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga dapat diperoleh suatu pengetahuan kenapa konten atau pesan bisa semacam itu. (im)